Selasa, 17 Juni 2014

I LOVE ENDE CITY

Danau Kelimutu dan Keragaman Budayanya

Salah satu keindahan yang ditawarkan Flores khususnya di kabupaten Ende adalah Danau Kelimutu. Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan putih.Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu. Kelimutu merupakan gabungan kata dari "keli" yang berarti gunung dan kata "mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat. Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal. Wisatawan dari seluruh belahan dunia rela menyeberangi luasnya lautan hanya untuk menyaksikan fenomena alam ini. Kalau anda ingin berkunjung sebaiknya menuju Kelimutu di pagi hari, bermalam di Moni. Moni memiliki beberapa penginapan dengan fasilitas yang dapat memberikan kenyamanan untuk Anda bermalam. Udaranya yang sejuk dan terdapat banyak pepohonan yang rimbun serta masyarakatnya yang ramah,santun dan bisa berbicara bahasa indonesia secara baik menjadikan daerah ini menjadi daerah wisata yang sangat di perhatikan oleh pemerintahan setempat jadi sangat benar benar terawat keasriannya pemandangan di Moni terlihat indah dan hijau.selesai anda ke danau tiga warna atau kelimutu anda juga bisa sejenak melihat kampung tradisional di Wiwipemo dan koanara di sekitar kelimutu terdapat banyak kampung tradisional dan batu batu megalik yang umurnya sudah ratusan bahkan udah ribuan tahun yang lalu kampung tradisionalnya misalnya kampung tenda, wolojita, ngela, sesobhoko, dan masih banyak lagi. Dan anda bisa jumpai ritual adat yang sayang untuk di. Lewati seperti 
" Gaga Jala "adalah ritual pembersihan jalan di bulan Maret.

"Wari Pare "adalah ritual jemur padi sekitar bulan April atau Mei. 

"Wa'u Tosa" adalah ritual adat penggilingan padi tradisional sekitar bulan September.

"Jokaju "adalah ritual adat atau pesta rakyat untuk mengucap syukur kepada yang maha kuasa terhadap hasil panen yang berlimpah serta dilaksanakan sekitar bulan oktober seperti yang pernah diadakan di desa tenda, kita akan saksikan tarian adat gawi yang original dengan irama hentakan kaki yang terdengar seperti irama musik. Dan barisan tarian ini bentuknya seperti ular ,tarian gawi itu merupakan tarian kebanggaan suku ini,dan suku yang lain bahkan tarian ini menjadi simbol tarian pemerintahan setempat
http://www.youtube.com/watch?v=FWJkZzC2CwU
gawi tenda.flv
 Ini adalah gawi nua Tenda.sebuah perkampungan di desa Tenda, kecamatan wolojita
" Nai Keu" adalah ritual adat memetik kelapa dan pinang sekitar bulan Februari (terutama untuk panen kelapa di bulan Maret, Juni,September, dan Desember). 

"Nggera Kibi" yaitu ritual adat untuk membersihkan lumbung padi sekitar bulan Oktober
Masih banyak ritual adat lainnya dan keanekaragaman ini yang mempersatukan mereka adalah bahasa indonesia

Sekian Semoga bermanfaat
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tarian Gawi dari kabupaten Ende


Pada perhelatan akbar ritual adat, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran. Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat.
Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat ketika di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan.
Secara harafia jika didefinisikan Arti kata “Gawi” sebagai berikut; “Ga” Segan/sungkan. Sedangkan “Wi” artinya menarik, dalam arti menyatukan diri. Tarian ini adalah simbol faktual entitas yang merupakan daya pemersatu kalangan antara bangsawan dan kaum jelata etnik Ende Lio di masa lampau. Filosofi tarian ini adalah merayakan ritual kehidupan, baik merayakan kelahiran, masa panen atau momen lainnya dalam kehidupan etnik Ende Lio. Salah satu tujuan dari upacara adat ini adalah ungkapan syukur atas segala nikmat dari Yang Kuasa. Dari semua tarian adat Lio, Gawi merupakan sebuah tarian yang mempunyai banyak makna filosofis sebagai berikut:
1. Makna religius : Syair lagu gawi, "Du’a Lulu Wula,Ngga’e Wena Tana". Mempunyai makna pemujaan melalui kidung-kidung agung untuk menghormatan terhadap wujud Tuhan yang Maha Tinggi.
2. Makna Persatuan : Koreografi gawi, dalam bentuk lingkaran bulat (berpengangan tangan). Kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Lio sangat tergambar jelas melalui ritual gawi ini. Sehingga setiap orang yang terlibat dalam ritual ini harus menyadari betul inti kebersamaan "To'o Lei Po'o, Mbana Lei Meja".
3. Makna Kesetaraan jender : Peserta gawi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jika Indonesia mengenal kata emansipasi wanita, sesungguhnya orang Lio sudah mengenal kesetaraan jender melalui ritual gawi maupun dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terbukti bahwa disetiap ritual-ritual adat orang Lio, kaum wanita mendapat tempat dengan tugas tersendiri tanpa campur tangan kaum lekaki. Misalnya: Mengatur perbekalan, mengatur hasil-hasil panen, dan juga semua persoalan yang berkaitan dengan rumah adat, karena rumah adat sebagai simbol kelahiran yang datang dari wanita.
4. Makna Tanggung jawab : Komponen peserta gawi terdiri dari ulu eko, (Pemimpin), tuke ulu eko (Pembantu pemimpin), naku ae (Pendukung/pelaksana). Disini dimaksudkan dalam setiap perkampungan adat Lio, semua para pemimpin adat maupun masyarakat jelata harus tahu tugas dan tanggung jawabnya terhadap "Du'a Gheta Lulu Wula" serta aturan-aturan adat yang berlaku di dalam adat mereka sendiri.
5. Makna Tatakrama : Sopan santun, saling menghargai, saling menerima. Inilah yang disebut kepemimpinan adat Lio kolektif kolegial. Artinya semua sesepuh maupun fai walu ana kalo harus saling menghargai, tahu tatakrama, dan saling menerima antara satu dengan yang lainnya.
Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa.
Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling dilindungi. Ular diwilayah Lio, diyakini sebaga pelindung dewi padi (Ine Mbu). Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita.
Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang lalu memberinya makan berupa telur ayam sebagai wujud penghormatan. Berikut ini sebuah petikan syair penghormatan orang Lio terhadap ular:
Nusa Nipa - Pulau Ular:
Bu'u suru Lepembusu, - Dimenangkan di Lepembusu
Kanga ria tenda bewa, - Pelataran mega, bale agung
Ulu endo mbawe, - Hulu menjurus ke utara
eko tola ndale - Hilir menjurus ke Selatan
Ulu gheta kowe jawa - Kepala menjurus ke Timur 
Kami pa'a miu no'o ka - Kami memberimu sesajen
Eko ghale bajo bima - Ekor ke Bajo Bima
Kami rewu miu no'o ru'e - Bagimu kami serakan santapan
Ulu leja geju, - Kepala ditempat terbitnya Matahari 
Eko leja mele - Ekor di tempat terbenam
Ulu ata ma'e gete - Kepala jangan dipancung
Eko ata ma'e sete - Ekor jangan dipenggal
Ata eo kolu mbou ulu - Kepada pengacau (Perampas) 
Soke kolo kai, - Penggalkan kepalanya
Ata eo rai ramba eko - Kepada perampok
Gete lima kai - Potong tangannya
Pusu kai tu leka tubu - Sajikan jantungnya di batu pemujaan 
Lema kai Tu leka fi'i kanga - Lidahnya dikurbankan dipelataran
Ta'u leka nipa ria - Takut kepada ular
Ga leka bhara bani - Segan kepada Bhara buas
Nipa ria mbale lamu, - Ular besar menjelma lumut 
Lamu mbale tana - Lumut menjelma tanah
Kita mera leka tana - Kita bermukim ditanah
Ina mera leka longgo - Berarti bemukin di punggung (ular)
Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos.
Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair.

link videonya  : http://www.youtube.com/watch?v=FWJkZzC2CwU
 
Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, Moni, Tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?

suber : http://www.sailkomodo2013.nttprov.go.id/index.php/2012-12-05-06-20-09/tarian-daerah/147-tarian-gawi-dari-ende

Danau Kelimutu

Inilah sebuah gunung yang menyimpan misteri sekaligus pesonanya. Gunung Kelimutu terletak di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan puncak berketinggian 1.690 m dari atas permukaan laut, gunung itu memiliki keunikan karena ada tiga buah danau kawah berbeda warna.

Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu berubah-ubah seiring perjalanan waktu. Tak kurang sudah 12 kali perubahan warna terjadi dalam waktu 25 tahun terakhir ini. Danau pertama dan kedua letaknya sangat berdekatan, sedangkan danau ketiga terletak menyendiri sekitar 1,5 km di bagian Barat. Perubahan warna ini diduga akibat adanya pembiasan cahaya matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimiawi terlarut, dan akibat pantulan warna dinding dan dasar danau.
Kelimutu merupakan gabungan kata dari “keli” yang berarti gunung dan kata “mutu” yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.
Danau atau Tiwu Kelimutu dibagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna – warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” merupakan tempat berkumpulnya jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau “Tiwu Ata Polo” merupakan tempat berkumpulnya jiwa orang-orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau “Tiwu Ata Mbupu” merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.
Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu. Bagi penggemar hiking dan menyukai keindahan alam di desa pegunungan tropis, berwisata ke tempat ini merupakan pilihan terbaik. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Untuk mencapai Gunung Kelimutu yang pernah meletus di tahun 1886 ini, butuh “perjuangan” tersendiri. Dari Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Propinsi Nusa Tenggara Timur, butuh waktu sekitar 3 jam dengan mobil sewaan dengan kondisi jalan yang tidak terlalu bagus, berkelak-kelok, melintasi jurang dan tebing. Kita akan menemui kampung terdekat dengan kawah gunung Kelimutu yang bernama Kampung Moni.
Kampung ini terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende yang berjarak 13 kilometer dari Danau Kelimutu. Dari Moni hanya dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk mencapai bibir Danau Kelimutu.
Selain dari Maumere, Kelimutu juga dapat dicapai dari Ende menggunakan bus antarkota ataupun kendaraan sewaan, dengan harga dan waktu perjalanan yang relatif tidak jauh berbeda. Dari ibukota Propinsi NTT, yakni Kupang, pengunjung dapat menggunakan pesawat menuju kota Ende, di Pulau Flores, dengan waktu tempuh mencapai 40 menit. Kelimutu terletak sekitar 66 kilometer dari Kota Ende dan 83 kilometer dari Kota Maumere.
Di Kampung Moni banyak dijajakan kain tenun Lio yang menjadi salah satu produk khas lokal disana dan dijual oleh penduduk setempat kepada para wisatawan. Di Kampung Moni pula terdapat penginapan yang bisa dipakai oleh wisatawan untuk menginap atau beristirahat.
Terdapat sekitar 20 homestay yang dikelola penduduk dengan tarif Rp 25.000- Rp 50.000 per malam sedangkan cottage milik pemerintah bertarif Rp 75.000-Rp 85.000. per malam. Edelweis, Pinus dan Cemara adalah sejumlah tumbuhan yang dapat kita temui saat memasuki kawasan Kelimutu.
Nah, selamat menikmati kawasan kawah danau 3 warna gunung Kelimutu yang eksotis itu!

Sumber : http://wisatanusatenggara.wordpress.com/2010/11/21/danau-3-warna/#more-1184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar